Jokowi adalah
tokoh pemimpin terpuji Walikota Solo dan berperan memperomosikan Mobil ESEMKA. Ir. Joko Widodo (Jokowi) adalah walikota Kota Surakarta (Solo)
untuk dua kali masa bhakti 2005-2015. Wakil walikotanya adalah F.X. Hadi
Rudyatmo. Jokowi lahir di Surakarta pada 21 Juni 1961. Agama Jokowi adalah Islam. Pada 2012 Jokowi
memenangkan Pilkada DKI Jakarta dan ditetapkan sebagi Gubernur DKI Jakarta.
Banyak pihak optimis dengan kinerja Jokowi dan wakilnya Ahok untuk memperbaiki kota Jakarta yang
semerawut.
Biografi
Jokowi (Joko Widodo)
Jokowi
meraih gelar insinyur dari Fakultas Kehutanan UGM pada
tahun 1985. Ketika mencalonkan diri sebagai walikota
Solo, banyak yang meragukan kemampuan pria yang berprofesi sebagai
pedagang mebel rumah dan taman ini; bahkan hingga saat ia terpilih. Namun
setahun setelah ia memimpin, banyak gebrakan
progresif dilakukan
olehnya. Ia banyak mengambil contoh pengembangan kota-kota di Eropa yang sering
ia kunjungi dalam rangka perjalanan bisnisnya.
Di bawah
kepemimpinannya, Solo mengalami perubahan yang pesat. Branding untuk kota Solo
dilakukan dengan menyetujui moto “Solo: The Spirit of Java“. Langkah yang dilakukannya
cukup progresif untuk ukuran kota-kota di Jawa: ia mampu merelokasi pedagang
barang bekas di Taman Banjarsari hampir tanpa gejolak untuk
merevitalisasi fungsi lahan hijau terbuka, memberi syarat pada investor untuk
mau memikirkan kepentingan publik, melakukankomunikasi langsung
rutin dan terbuka (disiarkan oleh televisi lokal) dengan masyarakat.Taman Balekambang, yang
terlantar semenjak ditinggalkan oleh pengelolanya, dijadikannya taman. Jokowi
juga tak segan menampik investor yang tidak setuju dengan prinsip kepemimpinannya.
Sebagai tindak lanjut branding ia mengajukan Surakarta untuk menjadi anggota
Organisasi Kota-kota Warisan Dunia dan diterima pada tahun 2006. Langkahnya
berlanjut dengan keberhasilan Surakarta menjadi tuan rumah Konferensi
organisasi tersebut pada bulan Oktober 2008 ini. Pada tahun 2007 Surakarta juga
telah menjadi tuan rumah Festival Musik Dunia (FMD) yang diadakan di kompleks
Benteng Vastenburg yang terancam digusur untuk dijadikan pusat bisnis dan
perbelanjaan. FMD pada tahun 2008 diselenggarakan di komplek Istana
Mangkunegaran.
Berkat prestasi tersebut, Jokowi terpilih menjadi salah satu dari “10
Tokoh 2008″ oleh Majalah Tempo.
Asal
Nama Julukan Jokowi
“Jokowi
itu pemberian nama dari buyer saya dari Prancis,” begitu kata Wali Kota Solo,
Joko Widodo, saat ditanya dari mana muncul nama Jokowi. Kata dia, begitu banyak
nama dengan nama depan Joko yang jadi eksportir mebel kayu. Pembeli dari luar bingung untuk
membedakan, Joko yang ini apa Joko yang itu. Makanya, dia terus diberi nama
khusus,‘Jokowi’.
Panggilan itu kemudian melekat sampai sekarang. Di kartu nama yang dia berikan
tertulis, Jokowi, Wali Kota Solo. Belakangan dia mengecek, di Solo yang namanya
persis Joko Widodo ada 16 orang.
Saat ini, Jokowi menjabat untuk periode kedua. Kemenangan
mutlak diperoleh saat pemilihan wali kota tahun lalu. Nama Jokowi kini tidak
hanya populer, tapi kepribadiannya juga
disukai masyarakat. Setidaknya, ketika pergi ke pasar-pasar, para pedagang
beramai-ramai memanggilnya, atau paling tidak berbisik pada orang sebelahnya,
“Eh..itu Pak Joko.”
Bagaimana
ceritanya sehingga dia bisa dicintai masyarakat Solo? Kebijakan apa saja yang
telah membuat rakyatnya senang? Mengapa pula dia harus menginjak pegawainya?
Berikut wawancara wartawan Republika, Ditto Pappilanda, dengan Jokowi dalam
kebersamaannya sepanjang setengah hari di seputaran Solo.
Sikap
apa yang Anda bawa dalam menjalankan karier sebagai birokrat?
Secara prinsip, saya hanya bekerja untuk rakyat. Hanya itu, simpel. Saya enggak
berpikir macam-macam, wong enggak bisa apa-apa. Mau dinilai tidak baik,
silakan, mau dinilai baik, ya silakan. Saya kan tugasnya hanya bekerja. Enggak ada kemauan macam-macam. Enggak punya
target apa-apa. Bekerja. Begitu saja.
Bener,
saya tidak muluk-muluk dan sebenarnya yang kita jalankan pun semua orang bisa
ngerjain. Hanya, mau enggak. Punya niat enggak. Itu saja. Enggak usah
tinggi-tinggi. Sederhana sekali.
Contoh,
lima tahun yang lalu, pelayanan KTP kita di kecamatan semrawut. KTP bisa dua
minggu, bisa tiga minggu selesai. Tidak ada waktu yang jelas. Bergantung pada
yang meminta, seminggu bisa, dua minggu bisa. Tapi, dengan memperbaiki sistem,
apa pun akan bisa berubah. Menyiapkan sistem, kemudian melaksanakan sistem itu,
dan kalau ada yang enggak mau melaksanakan sistem, ya, saya injak.
Awalnya reaksi internal
bagaimana?
Ya biasa, resistensi setahun di depan, tapi setelah itu, ya, biasa saja.
Semuanya kalau sudah biasa, ya semuanya senang. Ya, kita mengerti itu masalah
kue, ternyata ya juga bisa dilakukan.
Untuk
mengubah sistem proses KTP itu, tiga lurah saya copot, satu camat saya copot.
Saat itu, ketika rapat diikuti 51 lurah, ada tiga lurah yang kelihatan tidak
niat. Enggak mungkin satu jam, pak, paling tiga hari, kata mereka. Besoknya
lurah itu tidak menjabat. Kalau saya, gitu saja. Rapat lima camat lagi, ada
satu camat, sulit pak, karena harus entri data. Wah ini sama, lah. Ya, sudah.
Nyatanya,
setelah mereka hilang, sistemnya bisa jalan. Seluruh kecamatan sekarang sudah
seperti bank. Tidak ada lagi sekat antara masyarakat dan pegawai, terbuka
semua. Satu jam juga sudah jadi. Rupiah yang harus dibayar sesuai perda, Rp
5.000.
Anda juga punya pengalaman
menarik dalam penanganan Pedagang Kaki Lima (PKL) yang kemudian banyak menjadi
rujukan?
Iya. Sekarang banyak daerah-daerah ke sini, mau mengubah mindset. Oh ternyata
penanganan (PKL) bisa tanpa berantem. Memang tidak mudah. Pengalaman kami waktu
itu adalah memindahkan PKL di Kecamatan Banjarsari yang sudah dijadikan tempat
jualan bahkan juga tempat tinggal selama lebih dari 20 tahun. Kawasan itu
sebetulnya kawasan elite, tapi karena menjadi tempat dagang sekaligus tempat
tinggal, yang terlihat adalah kekumuhan.
Lima tahun yang lalu, mereka saya undang makan di sini
(ruang rapat rumah dinas wali kota). Saya ajak makan siang, saya ajak makan
malam. Saya ajak bicara. Sampai 54 kali,
saya ajak makan siang, makan malam, seperti ini. Tujuh bulan seperti ini.
Akhirnya, mereka mau pindah. Enggak usah di-gebukin.
Mengapa
butuh tujuh bulan, mengapa tidak di tiga bulan pertama?
Kita melihat-melihat angin, lah. Kalau Anda lihat, pertama kali mereka saya
ajak ke sini, mereka semuanya langsung pasang spanduk. Pokoknya kalau dipindah,
akan berjuang sampai titik darah penghabisan, nyiapin bambu runcing. Bahkan,
ada yang mengancam membakar balai kota.
Situasi panas itu sampai
pertemuan ke berapa?
Masih sampai pertemuan ke-30. Pertemuan 30-50 baru kita berbicara. Mereka butuh
apa, mereka ingin apa, mereka khawatir mengenai apa. Dulu, mereka minta
sembilan trayek angkot untuk menuju wilayah baru. Kita beri tiga angkutan umum.
Jalannya yang sempit, kita perlebar.
Yang sulit
itu, mereka meminta jaminan omzet di tempat yang baru sama seperti di tempat
yang lama. Wah, bagaimana wali kota disuruh menjamin seperti itu. Jawaban saya,
rezeki yang atur di atas, tapi nanti selama empat bulan akan saya iklankan di
televisi lokal, di koran lokal, saya pasang spanduk di seluruh penjuru kota.
Akhirnya, mereka mau pindah.
Pindahnya
mereka saya siapkan 45 truk, saya tunggui dua hari, mereka pindah
sendiri-sendiri. Pindahnya mereka dari tempat lama ke tempat baru saya kirab
dengan prajurit keraton. Ini yang enggak ada di dunia mana pun. Mereka bawa
tumpeng satu per satu sebagai simbol kemakmuran. Artinya, pindahnya senang.
Tempat yang lama sudah jadi ruang terbuka hijau kembali.
Omzetnya di tempat yang baru?
Bisa empat kali. Bisa tanya ke sana, jangan tanya saya. Tapi, ya kira-kira ada
yang sepuluh kali, ada yang empat kali. Rata-rata empat kali. Ada yang sebulan
Rp 300 juta. Itu sudah bukan PKL lagi, geleng-geleng saya.
Bagaimana dengan PKL yang lain?
Setelah yang eks-PKL Banjarsari pindah, tidak sulit meyakinkan yang lain. Cukup
pertemuan tiga sampai tujuh kali pertemuan selesai. Sampai saat ini, kita sudah
pindahkan 23 titik PKL, tidak ada masalah.
Lha yang repot sekarang ini malah pedagang PKL itu minta
direlokasi. Kita yang nggak punya duit. Sampai sekarang ini, masih 38 persen
PKL yang belum direlokasi. Jadi, kalau masih melihat PKL di jalan atau trotoar, itu bagian dari 38
persen tadi.
Tampaknya,
pemberdayaan pasar menjadi perhatian Anda?
Oiya. Kita sudah merenovasi 34 pasar dan membangun pasar yang baru di tujuh
lokasi. Jika dikelola dengan baik, pasar ini mendatangkan pendapatan daerah
yang besar.
Dulu,
ketika saya masuk, pendapatan dari pasar hanya Rp 7,8 miliar, sekarang Rp 19,2
miliar. Hotel hanya Rp 10 miliar, restoran Rp 5 miliar, parkir Rp 1,8 miliar,
advertising Rp 4 miliar. Hasil Rp 19,2 miliar itu hanya dari retribusi harian
Rp 2.600. Pedagangnya banyak sekali, kok. Ini yang harus dilihat. Asal
manajemennya bagus, enggak rugi kita bangun-bangun pasar. Masyarakat-pedagang
terlayani, kita dapat income seperti itu.
Sementara
kalau mal, enggak tahu saya, paling bayar IMB saja, kita mau tarik apa?
Makanya, mal juga kita batasi. Begitu juga hypermarket kita batasi. Bahkan, minimarket
juga saya stop izinnya. Rencananya dulu akan ada 60-80 yang buka, tapi tidak
saya izinkan. Sekarang hanya ada belasan.
Tapi, sepertinya Pasar Klewer
belum tersentuh ya, kondisinya masih kurang nyaman?
Klewer itu, waduh. Duitnya gede sekali. Kemarin, dihitung investor, Rp 400
miliar. Duit dari mana? Anggaran berapa puluh tahun, kita mau cari jurus apa
belum ketemu. Anggaran belanja Solo Rp 780 miliar, tahun ini Rp 1,26 triliun.
Tidak mampu kita. Pedagang di Klewer lebih banyak, 3.000-an pedagang, pasarnya
juga besar sekali. Di situ, yang Solo banyak, Sukoharjo banyak, Sragen banyak,
Jepara ada, Pekalongan ada, Tegal ada. Batik dari mana-mana. Tapi, saya yakin
ada jurusnya, hanya belum ketemu aja.
Soal pendidikan, di beberapa
daerah sudah banyak dilakukan pendidikan gratis, apakah di Solo juga begitu?
Kita beda. Di sini, kita menerbitkan kartu untuk siswa, ada platinum, gold, dan
silver. Mereka yang paling miskin itu memperoleh kartu platinum. Mereka ini
gratis semuanya, mulai dari uang pangkal sampai kebutuhan sekolah dan juga
biaya operasional. Kemudian, yang gold itu mendapat fasilitas, tapi tak
sebanyak platinum. Begitu juga yang silver, hanya dibayari pemkot untuk
kebutuhan tertentu.
Itu juga yang diberlakukan
untuk kesehatan?
Iya, ada kartu seperti itu, ada gold dan silver. Gold ini untuk mereka yang
masuk golongansangat miskin. Semua gratis, perawatan rawat inap,
bahkan cuci darah pun untuk yang gold ini gratis.
Tampaknya,
sekarang masyarakat sudah percaya pada Anda, padahal di awal terpilih, banyak
yang sangsi?
Yah, satu tahun, lah. Namanya belum dikenal, saya kan bukan potongan wali kota,
kurus, jelek. Saya juga enggak pernah muncul di Solo, apalagi bisnis saya 100
persen ekspor. Ada yang sangsi, ya biar saja, sampai sekarang enggak apa-apa.
Mau sangsi, mau menilai jelek, terserah orang.
Dulu, apa niat awalnya jadi
wali kota?
Enggak ada niat, kecelakaan. Ndak tahu itu. Dulu, pilkada pertama, kita dapat
suara 37 persen, menang tipis. Wong saya bukan orang terkenal, kok. Yang lain
terkenal semuanya kan, saya enggak. Tapi, kelihatannya masyarakat sudah malas
dengan orang terkenal. Mau coba yang enggak terkenal. Coba-coba, jadi saya
bilang kecelakaan tadi itu memang betul.
Hal apa yang paling mengesankan
selama Anda menjadi wali kota?
Paling mengesankan? Paling mengesankan itu, kalau dulu, kan, wali kota mesti
meresmikan hal yang gede-gede. Meresmikan mal terbesar besar misalnya. Tapi,
sekarang, gapura, pos ronda, semuanya saya yang buka, kok. Pos ronda minta
dibuka wali kota, gapura dibuka wali kota, ya gimana rakyat yang minta, buka
aja. Ya, kadang-kadang lucu juga. Tapi kita nikmati.
Apa kesulitan yang paling
pertama Anda temui saat menjabat sebagai wali kota?
Masalah aturan. Betul. Kita, kalau di usaha, mencari yang se-simpel mungkin,
seefisien mungkin. Tapi, kita di pemerintahan enggak bisa, ada tahapan aturan.
Meskipun anggaran ada, aturannya enggak terpenuhi, enggak bisa jalani.
Harusnya, bisa kita kerjain dua minggu, harus menunggu dua tahun. Banyak
aturan-aturan yang justru membelenggu kita sendiri, terlalu prosedural. Kita
ini jadi negara prosedur.
Apa pertimbangannya saat Anda
mencalonkan untuk kali kedua?
Sebetulnya, saya enggak mau. Mau balik lagi ke habitat tukang kayu. Saat itu,
setiap hari datang berbondong-bondong berbagai kelompok yang mendorong saya
maju lagi. Mereka katakan, ini suara rakyat. Saya berpikir, ini benar ndak, apa
hanya rekayasa politik. Dua minggu saya cuti, pusing saya mikir itu. Saya
pulang, okelah saya survei saja. Saya survei pertama, dapatnya 87 persen.
Enggak percaya, saya survei lagi, dapatnya 87 persen lagi.
Setelah
survei itu, saya melihat, benar-benar ada keinginan masyarakat.
Jadi, yang datang ke saya itu benar. Dan ternyata memang saya dapat hampir 91
persen. Saya lihat ada harapan dan ekspektasi yang terlalu besar. Perhitungan
saya 65-70 persen. Hitungan di atas kertas 65:35, atau 60:40, kira-kira.
Ada kekhwatiran tidak, ketika
lepas jabatan, semua yang Anda bangun tetap terjaga?
Pertama ada blueprint, ada concept plan kota. Paling tidak, pemimpin baru
nanti enggak usah pakai 100 persen, seenggaknya 70 persen. Jangan sampai, sudah
SMP, kembali lagi ke TK. Saya punya kewajiban juga untuk menyiapkan dan memberi
tahu apa yang harus dilakukan nantinya.
Biodata Joko Widodo
Nama :
Joko Widodo
Tempat Tanggal Lahir: Surakarta, 21 Juni 1961
Agama : Islam
Pekerjaan : Pengusaha
Agama : Islam
Profil Facebook : jokowi
Akun twitter : jokowi_do2
Email: jokowi@indo.net.id
Alamat Kantor : Jl. Jend. Sudirman No. 2 Telp. 644644, 642020, Psw 400, Fax.
646303
Alamat Rumah Dinas : Rumah Dinas Loji Gandrung Jl. Slamet Riyadi No. 261 Telp.
712004
HP. 0817441111
Pendidikan:
§ SDN
111 Tirtoyoso Solo
§ SMPN
1 Solo
§ SMAN
6 Solo
§ Fakultas
Kehutanan UGM Yogyakarta lulusan 1985
Karir:
§ Pendiri
Koperasi Pengembangan Industri Kecil Solo (1990)
§ Ketua
Bidang Pertambangan & Energi Kamar Dagang dan Industri Surakarta
(1992-1996)
§ Ketua
Asosiasi Permebelan dan Industri Kerajinan Indonesia Surakarta (2002-2007)
Penghargaan:
§ Joko
Widodo terpilih menjadi salah satu dari “10 Tokoh 2008″
§ Menjadi
walikota terbaik tahun 2009
§ Pak
Joko Widodo jg meraih penghargaan Bung Hatta Award, atas kepemimpinan dan
kinerja beliau selama membangun dan memimpin kota Solo.
§ Universitas
Sebelas Maret Surakarta (UNS) Award
Selain
itu, berkat kepemimpinan beliau (dan tentunya semua pihak yg membantu), kota
Solo jg banyak meraih penghargaan, di antaranya
§ Kota
Pro-Investasi dari Badan Penanaman Modal Daerah Jawa Tengah
§ Kota
Layak Anak dari Kementerian Negara Pemberdayaan Perempuan
§ Wahana
Nugraha dari Departemen Perhubungan
§ Sanitasi
dan Penataan Permukiman Kumuh dari Departemen Pekerjaan Umum
§ Kota
dengan Tata Ruang Terbaik ke-2 di Indonesia
http://www.youtube.com/watch?feature=player_embedded&v=GRUqUJdKx5s