RSS

KISWAH


HAKIKAT BID’AH DAN KUFUR
TANYA JAWAB BERSAMA
MUHAMMAD NASHIRUDDIN AL-ALBANI RAHIMAHULLAHU

Dengan nama Alloh yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang. Sholawat dan Salam semoga senantiasa tercurahkan kepada Rasulullah, keluarga dan para sahabatnya. Rekaman ini merupakan Silsilah Fatawa oleh Syaikh Nashiruddin al-Albani rahimahullahu yang direkam oleh Abu Laila al-Atsari pada 7 Sya’ban 1413 yang bertepatan dengan tanggal 31 Januari 1993. Syaikh Nashir diajukan beberapa pertanyaan penting oleh para pemuda dari Uni Emirat Arab (UEA), semoga dapat memberikan manfaat bagi umat.

Penanya :
Apa pendapat Anda, wahai syaikh, tentang orang-orang yang tidak memperbolehkan tarahum [1] kepada orang-orang yang menyelisihi i'tiqod salaf, seperti an-Nawawi, Ibnu Hajar al-Asqolani, Ibnu Hazm dan Ibnul Jauzi serta orang-orang yang semisal mereka dari (ulama) salaf?[2] Juga tokoh-tokoh kholaf (kontemporer) seperti al-Banna dan Sayyid Quthb, mengingat Anda telah mengetahui dengan baik apa yang ditulis oleh Hasan al-Banna dalam bukunya Mudzakkirat ad-Da’wah wa ad-Da’iyyah dan Sayyid Quthb dalam bukunya Fii Zhilaali al-Qur’an???
Syaikh :
Kami berkeyakinan bahwa rahmat dan tarahum diperbolehkan bagi seluruh kaum muslimin dan diharamkan bagi seluruh orang kafir. Jawaban ini merupakan furu’ (cabang) dari i'tiqod yang dimiliki oleh seseorang. Jadi, barangsiapa yang meyakini bahwa orang-orang yang disebutkan di dalam pertanyaan tadi adalah muslim, maka jawabannya adalah telah ma’ruf (diketahui) –sebagaimana yang telah saya katakan barusan- yaitu boleh mendo’akan : “semoga Alloh merahmati dan mengampuni mereka”. Dan siapapun yang menganggap bahwa mereka yang disebutkan di dalam pertanyaan tadi adalah bukan muslim (kafir) –semoga Alloh tidak mengizinkan hal ini-, maka tarahum tidaklah diperbolehkan, karena rahmat diharamkan bagi orang kafir. Inilah jawabanku berkenaan dengan apa yang datang dari pertanyaan tadi.
Penanya :
Namun Syaikh, Mereka mengatakan bahwa hal ini termasuk bagian dari manhaj salaf, yang mana mereka tidak melakukan tarahum terhadap mubtadi’ (pelaku bid’ah). Konsekuensinya, orang-orang yang disebutkan di dalam pertanyaan pertama tadi dianggap sebagai mubtadi’ dan mereka (para salaf) tidak melakukan tarahum dengan mereka.
Syaikh :
Kami telah katakan tadi, bahwa rahmat atau tarahum diperbolehkan bagi setiap muslim dan tidak boleh bagi seluruh orang kafir. Jika (jawabanku tadi, pent.) ini benar, maka pertanyaan kedua tadi tidak memiliki dasar (hujjah). Jika ini (jawaban saya) tidak benar, maka (pertanyaan kedua tadi) memiliki dasar dan bisa didiskusikan lebih lanjut…
Bukankah mereka yang telah divonis oleh sebagian ulama sebagai mubtadi’, mereka tetap disholati? Dan termasuk i'tiqod salaf yang disepakati oleh kholaf adalah, bahwa kita (tetap) menegakkan sholat di belakang muslim yang shalih sebagaimana pula kita shalat di belakang muslim yang fajir.[3] Kita juga menshalati orang yang shalih maupun orang yang fajir. [4]
Adapun orang kafir tidak boleh dishalati.
Oleh karena itu, orang yang disebutkan di dalam pertanyaan tadi, mau tidak mau, haruslah disebut sebagai ahlul bid’ah.[5] Jadi, haruskah mereka disholati atau tidak?...
Saya sebenarnya tidak berkeinginan untuk mendiskusikan hal ini kecuali karena terpaksa. Jika jawabannya adalah mereka tetap harus disholati, maka jawabannya berhenti sampai di sini, pembahasan selesai dan tak ada lagi tempat untuk mendiskusikan pertanyaan kedua tadi. Namun jika (dijawab) tidak boleh mensholatinya, maka kesempatan untuk diskusi masih terbuka dan dapat dilanjutkan kembali…


[1] Tarahum adalah memohonkan rahmat bagi orang yang telah meninggal seperti ucapan rahimahullahu.
[2] Mungkin yang dimaksud penanya adalah gerakan Haddadiyah yang diusung oleh Abu Muhammad al-Haddad dari Yaman yang menyebarkan pemahamannya dari semenjak berdirinya hingga saat ini yang menyusup masuk ke dalam barisan salafiyin. Mereka dikenal sebagai orang yang fanatik dan ghuluw serta mereka mengklaim dan merasa satu-satunya yang berada di atas al-Haq, manhaj salafi yang sesungguhnya dan selain mereka adalah sesat. Di antara ciri mereka sebagaimana dikatakan oleh Syaikh Rabi’ bin Hadi hafizhahullahu di dalam risalah ringkasnya yang berjudul Mumayyizat al-Haddadiyah adalah –dengan beberapa perubahan dan sedikit tambahan- :
  1. Mereka membenci para ulama salafi zaman ini, merendahkan, membodoh-bodohkan, menvonis sesat mereka dan melakukan kedustaan atas nama mereka.
  2. Mereka berpendapat bahwa siapa saja yang jatuh ke dalam kebid’ahan maka ia adalah mubtadi’. Oleh karena itu an-Nawawi, Ibnu Hajar, Ibnul Jauzi, Abu Hanifah dan selain mereka –rahimahumullahu jami’an- menurut mereka adalah mubtadi’ yang sesat.
  3. Mereka mentabdi’ (menvonis bid’ah) siapa saja yang tidak turut mentabdi’ orang-orang jatuh ke dalam kebid’ahan. Menurut mereka tidak cukup mengatakan, “pada diri fulan ada faham asy’ariyah” namun harus mengatakan “mubtadi’” atau apabila tidak, maka akan diperangi, dihajr, dan dibid’ahkan orang yang tidak mau melakukannya.
  4. Mereka mengharamkan tarahum (mendoakan rahmat) kepada ahlul bid’ah secara mutlak, baik rafidhi, qodari, jahmi maupun seorang ‘alim yang tergelincir ke dalam kebid’ahan.
  5. Mereka mentabdi’ siapa saja yang bertarahum kepada orang-orang semisal asy-Syaukani, Abu hanifah, Ibnul Jauzi, Ibnu Hajar dan lain lain –rahimahumullahu-
  6. Ta’ashshub al-a’maa (fanatic buta) dan ghuluw di dalam memuji dan membela tokoh-tokoh mereka.
  7. Mudah mencela dan mengumbar makian terhadap siapa saja yang menyelisihi mereka.
  8. Membakar dan merusakkan buku-buku para ulama yang menurut mereka menyimpang dan sesat.

  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS

0 komentar: