RSS

Zakat Fitrah Permasalahan dan Solusi

Permasalahan Zakat Fitrah
Assalaamu’alaikum warahmatullah wabarakaatuh,
Ustadz, semoga Allah senantiasa merahmati antum, saya ada sebuah permasalahan (
zakat fitrah -red) yang akan saya tanyakan dan sebelumnya saya ingin memberikan gambaran yang insya Allah detail:
Kami tinggal di jepang (insya Allah untuk sementara beberapa tahun ini saja, dalam rangka program beasiswa), selama disini kami senantiasa menjumpai musykilat dalam hal zakat fitrah. di jepang, bisa dikatakan jarang ditemui muslim apalagi yang berhak menerima zakat, sedemikian sehingga lembaga-lembaga resmi seperti Islamic Center atau institut bahasa arab saudi arabi cabang tokyo, ataupun organisasi-organisasi masyarakat islam di sini menerima zakat dalam bentuk uang dengan penjelasan bahwa akan dibelikan beras di indonesia. Akan tetapi, yang menjadi persoalan saya, bahwa zakat yang dibayarkan tersebut ditarik sampai batas akhirnya adalah sesaat sebelum shalat id, dan diumumkan pada hari ied di balai tempat shalat itu supaya segera membayar sekian ribu (seharga beras). Padahal kita mengetahui para ulama’ menjelaskan bahwa zakat fitrah tidak mencukupi apabila dibayar dengan uang dan tidak boleh dibayar dengan uang. Seandainya organisasi-organisasi atau lembaga itu memang membelikan beras di indonesia, tentunya akan terlambat kalo pembeliannya setelah shalat id? bagaimana seperti ini?
Kemudian karena masalah ini, saya sendiri bertekad untuk tidak membayar dengan uang maka saya meminta dibayarkan keluarga di indonesia, tapi dalam hal ini masih dijumpai musykilah lagi. Beras yang kami makan dalam keseharian adalah beras yang disini, dan berbeda baik harga maupun kualitas dengan beras di indonesia, maka apakah kami mencukupi membayar dengan 2.5 atau 3 kilo gram beras di indonesia, ataukah kami harus membayar senilai beras yang kami makan ini, yang mungkin bisa jadi 10 kilo atau lebih kalo dibelikan beras di indonesia.
Menghadapi masalah ini pun kami berbeda-beda, sebagian diantara kami membayar zakat fitrah dengan jumlah yang besar DENGAN NIATAN untuk menyetarakan harga beras yang dia makan disini, (mengingat kurs jepang lebih tinggi dari pada indonesia demikian juga harga beras perkilo nya).
Suatu saat ana bertanya kepada seorang ustadz, yang akhirnya memberikan jawaban yang membuat saya tenang dengannya. Dari jawaban ustadz itu saya bisa ana pahami bahwa:
1.      Zakat fitrah pada asalnya memang tidak boleh dibayar kecuali di tempat dia tinggal.
2.      Zakat fitrah dibayar dengan makanan, bukan dengan nilai uangnya.
3.      Zakat fitrah boleh saja dibayar lebih dengan niatan shadaqah dan yang penting adalah mencukupi minimalnya (tidak masalah dengan maksimalnya). Dan ustadz tersebut setelah saya berikan gambaran tentang musykilah di atas, mengatakan yang intinya bahwa tidak mengapa saya membayar zakat fitrah dengan biasa jumlah beras di indonesia yaitu tetap 2,5 atau 3 kilo beras indonesia, yang penting adalah jenisnya sama yaitu sama-sama beras (dan ustadz tersebut tidak mempermasalahkan beda kualitas dan harga berasnya, cuma beliau menjelaskan kalo memang memungkinkan ya sebaiknya yang sama kualitas tapi kalo tidak bisa ya tidak mengapa insyaAllah).
Lalu ana sendiri dari penjelasan ustadz tersebut mengambil kesimpulan – waAllahu a’lamu bis shawab:
1.      Berarti saya boleh tetap membayar 2.5 kilo (zakat fitrah -red) saja walaupun beras indonesia.
2.      Siapa yang mau menambah dengan niatan shadaqah tidak mengapa.
3.      Tapi siapa yang menambah dengan niatan untuk menyetarakan harga ini, berarti dia telah mengekurskan dulu dengan nilai uang, padahal zakat fitrah tidak boleh dibayar dengan nilai uang? bagaimanakah menurut ustadz apakah sikap saya ini benar? saya sendiri berkomitmen ini yang saya pegang sampai suatu saat ada hujjah yang lebih benar saya akan merujuknya.
Terakhir dari semua uraian musykilah di atas, mana sebaiknya yang kami lakukan dengan pertimbangan berikut ini:
1.      Batas akhir zakat fitrah adalah sampai sebelum shalat ied.
2.      Larangan membayar zakat fitrah pakai uang.
3.      Larangan memindah bayar zakat fitrah dari suatu negeri ke negeri lain.
Tapi karena ada alasan atau keadaan darurat seperti kami ini:
1.      Mengikuti lembaga-lembaga resmi, dengan alasan supaya bisa bersama-sama kaum muslimin, menampakkan keseragaman dan menghindari berpecah-pecah, tapi konsekuensinya bayar pake uang.
2.      Membayar dengan jumlah banyak misal 10 kilo beras di indonesia, yakni dibayarkan oleh keluarga di indonesia, dengan anggapan harus membayar setara kualitas & harga beras yang kita makan sehari-hari.
3.      Tetap membayar/dibayarkan dengan jumlah wajar 2.5 kilo beras di indonesia, manakah sikap yang semestinya kami ambil?
Kami mohon penjelasan dari ustadz, mengingat pentingnya masalah ini dan atas jawabannya jazakumullahu khoiron. Sampai karena ustadz-ustadz yang ditanyai akan mungkin memberikan jawaban berbeda-beda maka ingin sekali rasanya masalah seperti ini ditanyakan langsung kepada para masyayikh.Wassalaamu’alaikum warahmatullah wabarakaatuh.
Sekian pertanyaannya, sebelumnya saya ucapkan jazakumullah khoiron.
Akhukum Abu Iisa Al-Ghurahy
Jawaban Permasalahan Zakat Fitrah
Bismillahirrahmanirrahim.
Alhamdulilah, shalawat dan salam semoga senantiasa terlimpahkan kepada nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam, keluarga, sahabat dan seluruh pengikutnya hingga hari qiyamat, amiin.
Langsung saja, masalah zakat fitrah, para ulama’ sejak dahulu kala telah berselisih pendapat apakah zakat fitrah boleh dibayarkan dengan uang atau harus dengan makanan (makanan pokok)?
Jumhur (kebanyakan) ulama’ menyatakan bahwa zakat fitrah harus dibayar dengan makanan pokok, sebesar satu sha’ (kira-kira 3 Kg). Mereka berdalil dengan banyak dalil, diantaranya:
عن أبي سعيد الخدري رضي الله عنه قال: كنا نخرج في عهد رسول الله صلى الله عليه وسلم يوم الفطر صاعا من طعام. وقال أبو سعيد: وكان طعامنا الشعير والزبيب والأقط والتمر. رواه البخاري
“Diriwayatkan dari sahabat Abu Sa’id Al Khudri, radhiallahu ‘anhu, ia berkata: Dahulu kami mengeluarkan/menunaikan pada hari raya idul fitri satu sha’ bahan makanan’, kemudian ia menjelaskan dengan berkata: Dan makanan kami kala itu ialah Gandum, zabib (kismis), susu kering, dan korma.” (HR. Bukhori)
Dan juga hadits berikut:
عن بن عباس قال : فرض رسول الله صلى الله عليه وسلم زكاة الفطر طهرة للصائم من اللغو والرفث وطعمة للمساكين من أداها قبل الصلاة فهي زكاة مقبولة ومن أداها بعد الصلاة فهي صدقة من الصدقات. رواه أبو داود وابن ماجة وغيرهما.
“Diriwayatkan dari sahabat Ibnu Abbas radhiallahu ‘anhu ia menuturkan: Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mewajibkan zakat fitrah guna membersihkan orang-orang yang berpuasa dari noda perbuatan sia-sia dan rafats (keji), dan guna memberi makan kepada orang-orang miskin. Baranng siapa yang menunaikannya sebelum shalat ied, maka yang ia keluarkan dianggap sebagai zakat yang diterima (sah), dan barang siapa yang menunaikannya setelah shalat ied, maka yang ia keluarkan dianggap sebagai shadaqah biasa.” (HR. Abu Dawud, Ibnu Majah dll)
Dan sebagian ulama’ dan ini merupakan mazhab Hanafiyah, membolehkan untuk membayar zakat fitrah dengan uang seharga nishabnya (seharga beras 3 Kg). Mereka berdalil dengan berbagai dalil, diantaranya mereka beralasan: Diantara tujuan diwajibkannya zakat fitrah ialah guna mencukupi kebutuhan orang-orang miskin, padahal mereka bukan hanya butuh kepada makanan saja, tapi juga butuh kepada lain-lainnya apalagi di daerah-daerah yang tingkat kemiskinannya tidak terlalu parah, sehingga untuk kebutuhan makanan, mereka dapat memenuhinya dengan sendiri. Sehingga kurang berarti bila kita memberi mereka bahan makanan, beda halnya bila kita memberi mereka uang seharga beras (bahan makanan) tersebut.
Dan mereka juga berdalil bahwa Umar bin Abdul Aziz rahimahullah tatkala ia menjabat sebagai khalifah di zamannya, ia membolehkan untuk membayar zakat fitrah dengan uang.
Dari sedikit pemaparan di atas, maka jelaslah bahwa:
1.      Pendapat pertama lebih kuat, karena dalil-dalil yang mereka ajukan lebih kuat dan lebih jelas.
2.      Pendapat pertama selain lebih kuat, juga lebih selamat, karena selaras dengan apa yang dijalankan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dan sahabatnya.
3.      Dan dari hadits kedua di atas kita mendapatkan keterangan yang jelas, bahwa zakat fitrah harus ditunaikan sebelum kita shalat ied, dan tidak sah bila ditunaikan setelah kita shalat ied. Dengan demikian apa yang dilakukan di tempat Anda, yaitu panitia pengumpul zakat masih menerima pembayaran zakat dalam bentuk uang hingga akhir waktu, adalah kecerobohan dan kesalahan, sebab zakat fitrah harus sudah diterima oleh orang-orang miskin dalam bentuk makanan pokok (sebagaimanan telah dijelaskan di atas) sebelum kita menunaikan shalat ied. Dan apa yang Anda lakukan yaitu dengan mewakilkan keluarga Anda yang berada di indonesia guna membayarankan zakat fitrah di Indonesia adalah sikap kehati-hatian yang terpuji, dan semoga zakat Anda di Indonesia telah sampai ke orang-orang miskin, sebelum Anda menunaikan shalat ied di Jepang.
Semoga apa yang saya sampaikan jelas adanya, wallahu a’lam bisshowab.
***
Penanya: Abu Iisa Al-Ghurahy
Dijawab Oleh: Ustadz Muhammad Arifin Badri
Sumber: muslim.or.id disebarluaskan kembali oleh KonsultasiSyariah.com
Topik: Zakat Fitrah


  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS

Cara Menghitung Zakat Mal

Cara Menghitung
Zakat Mal

(Oleh: Ustadz DR. Muhammad Arifin Badri, MA) 
 
Segala puji hanya milik Allâh Ta'ala, shalawat dan salam semoga senantiasa terlimpahkan kepada Nabi Muhammad Shallallâhu 'Alaihi Wasallam, keluarga dan sahabatnya.
Harta benda beserta seluruh kenikmatan dunia diciptakan untuk kepentingan manusia, agar mereka bersyukur kepada Allâh Ta’ala dan rajin beribadah kepada-Nya. Oleh karena itu tatkala Nabi Ibrahim 'alaihissalam, meninggalkan putranya, Nabi Ismail 'alaihissalam di sekitar bangunan Ka’bah, beliau berdoa:
Qs. Ibrâhîm/14:37
Ya Rabb kami, 
sesungguhnya aku telah menempatkan sebagian keturunanku 
di lembah yang tidak mempunyai tanaman di dekat rumah-Mu yang dihormati. 
Ya Rabb kami, 
(yang demikian itu) agar mereka mendirikan shalat, 
maka jadikanlah hati sebagian manusia cenderung kepada mereka 
dan berilah mereka rizki dari buah-buahan, mudah-mudahan mereka bersyukur. 
(Qs. Ibrâhîm/14:37)
Inilah hikmah diturunkannya rizki kepada umat manusia, sehingga bila mereka tidak bersyukur, maka seluruh harta tersebut akan berubah menjadi petaka dan siksa baginya.
Qs. at-Taubah/9:34-35
…Dan orang-orang yang menyimpan emas dan perak 
dan tidak menafkahkannya pada jalan Allâh, 
maka beritahukanlah kepada mereka
(bahwa mereka akan mendapat) siksa yang pedih. 
Pada hari dipanaskan emas dan perak itu dalam neraka Jahannam,
lalu dahi, lambung dan punggung mereka dibakar dengannya,
(lalu dikatakan) kepada mereka: 
“Inilah harta bendamu yang kamu simpan untuk dirimu sendiri, 
maka rasakanlah sekarang (akibat dari) apa yang kamu simpan itu”.
(Qs. at-Taubah/9:34-35)

Ibnu Katsir rahimahullâh berkata:
“Dinyatakan bahwa setiap orang yang mencintai sesuatu dan lebih mendahulukannya dibanding ketaatan kepada Allâh, niscaya ia akan disiksa dengannya. Dan dikarenakan orang-orang yang disebut pada ayat ini lebih suka untuk menimbun harta kekayaannya daripada mentaati keridhaan Allâh, maka mereka akan disiksa dengan harta kekayaannya. Sebagaimana halnya Abu Lahab, dengan dibantu oleh istrinya, ia tak henti-hentinya memusuhi Rasûlullâh Shallallâhu 'Alaihi Wasallam, maka kelak pada hari kiamat, istrinya akan berbalik ikut serta menyiksa dirinya. Di leher istri Abu Lahab akan terikatkan tali dari sabut, dengannya ia mengumpulkan kayu-kayu bakar di neraka, lalu ia menimpakannya kepada Abu Lahab. Dengan cara ini, siksa Abu Lahab semakin terasa pedih, karena dilakukan oleh orang yang semasa hidupnya di dunia paling ia cintai. Demikianlah halnya para penimbun harta kekayaan. Harta kekayaan yang sangat ia cintai, kelak pada hari kiamat menjadi hal yang paling menyedihkannya. Di neraka Jahannam, harta kekayaannya itu akan dipanaskan, lalu digunakan untuk membakar dahi, perut, dan punggung mereka”.[1]
Ibnu Hajar al-Asqalâni rahimahullâh berkata:
“Dan hikmah dikembalikannya seluruh harta yang pernah ia miliki, padahal hak Allâh (zakat) yang wajib dikeluarkan hanyalah sebagiannya saja, ialah karena zakat yang harus dikeluarkan menyatu dengan seluruh harta dan tidak dapat dibedakan. Dan karena harta yang tidak dikeluarkan zakatnya adalah harta yang tidak suci”.[2]
Singkat kata, zakat adalah persyaratan dari Allâh Ta’ala kepada orang-orang yang menerima karunia berupa harta kekayaan agar harta kekayaan tersebut menjadi halal baginya.

NISHAB ZAKAT EMAS DAN PERAK
Emas dan perak adalah harta kekayaan utama umat manusia. Dengannya, harta benda lainnya dinilai. Oleh karena itu, pada kesempatan ini saya akan membahas nishab keduanya dan harta yang semakna dengannya, yaitu uang kertas.
hadist
Dari Sahabat ‘Ali radhiyallâhu'anhu,
ia meriwayatkan dari Nabi Shallallâhu 'Alaihi Wasallam,
Beliau bersabda:
“Bila engkau memiliki dua ratus dirham
dan telah berlalu satu tahun (sejak memilikinya),
maka padanya engkau dikenai zakat sebesar lima dirham.
Dan engkau tidak berkewajiban membayar zakat sedikitpun –maksudnya zakat emas–
hingga engkau memiliki dua puluh dinar.
Bila engkau telah memiliki dua puluh dinar
dan telah berlalu satu tahun (sejak memilikinya),
maka padanya engkau dikenai zakat setengah dinar.
Dan setiap kelebihan dari (nishab) itu, maka zakatnya disesuaikan dengan hitungan itu”. 
(Riwayat Abu Dawud, al-Baihaqi, dan dishahîhkan oleh Syaikh al-Albâni)
hadist
Dari Sahabat Abu Sa’id al-Khudri radhiyallâhu'anhu, ia menuturkan:
Rasûlullâh Shallallâhu 'Alaihi Wasallam bersabda:
“Tidaklah ada kewajiban zakat pada uang perak yang kurang dari lima Uqiyah “.
(Muttafaqun ‘alaih)
Dalam hadits riwayat Abu Bakar radhiyallâhu'anhu dinyatakan:
hadist
Dan pada perak, diwajibkan zakat sebesar seperdua puluh (2,5 %).
(Riwayat al-Bukhâri)

Orang yang hendak membayar zakat emas atau perak yang ia miliki, dibolehkan untuk memilih satu dari dua cara berikut.
Cara pertama, membeli emas atau perak sebesar zakat yang harus ia bayarkan, lalu memberikannya langsung kepada yang berhak menerimanya.
Cara kedua, ia membayarnya dengan uang kertas yang berlaku di negerinya sejumlah harga zakat (emas atau perak) yang harus ia bayarkan pada saat itu.
Sebagai contoh, bila seseorang memiliki emas seberat 100 gram dan telah berlalu satu haul, maka ia boleh mengeluarkan zakatnya dalam bentuk perhiasan emas seberat 2,5 gram. Sebagaimana ia juga dibenarkan untuk mengeluarkan uang seharga emas 2,5 gram tersebut. Bila harga emas di pasaran Rp. 200.000, maka, ia berkewajiban untuk membayarkan uang sejumlah Rp. 500.000,- kepada yang berhak menerima zakat.
Syaikh Muhammad bin Shâlih al-’Utsaimin rahimahullâh berkata:
“Aku berpendapat, bahwa tidak mengapa bagi seseorang membayarkan zakat emas dan perak dalam bentuk uang seharga zakatnya. Ia tidak harus mengeluarkannya dalam bentuk emas. Yang demikian itu, lebih bermanfaat bagi para penerima zakat. Biasanya, orang fakir, bila engkau beri pilihan antara menerima dalam bentuk kalung emas atau menerimanya dalam bentuk uang, mereka lebih memilih uang, karena itu lebih berguna baginya.”[6]

Catatan Penting Pertama.
Perlu diingat, bahwa harga emas dan perak di pasaran setiap saat mengalami perubahan, sehingga bisa saja ketika membeli, tiap 1 gram seharga Rp 100.000,- dan ketika berlalu satu tahun, harga emas telah berubah menjadi Rp. 200.000,- Atau sebaliknya, pada saat beli, 1 gram emas harganya sebesar Rp. 200.000,- sedangkan ketika jatuh tempo bayar zakat, harganya turun menjadi Rp. 100.000,-
Pada kejadian semacam ini, yang menjadi pedoman dalam pembayaran zakat adalah harga pada saat membayar zakat, bukan harga pada saat membeli.[7]

NISHAB ZAKAT UANG KERTAS

Pada zaman dahulu, umat manusia menggunakan berbagai cara untuk bertransaksi dan bertukar barang, agar dapat memenuhi kebutuhannya. Pada awalnya, kebanyakan menggunakan cara barter, yaitu tukar-menukar barang. Akan tetapi, tatkala manusia menyadari bahwa cara ini kurang praktis - terlebih bila membutuhkan dalam jumlah besar maka manusia berupaya mencari alternatif lain. Hingga akhirnya, manusia mendapatkan bahwa emas dan perak sebagai barang berharga yang dapat dijadikan sebagai alat transaksi antar manusia, dan sebagai alat untuk mengukur nilai suatu barang.
Dalam perjalanannya, manusia kembali merasakan adanya berbagai kendala dengan uang emas dan perak, sehingga kembali berpikir untuk mencari barang lain yang dapat menggantikan peranan uang emas dan perak itu. Hingga pada akhirnya ditemukanlah uang kertas. Dari sini, mulailah uang kertas tersebut digunakan sebagai alat transaksi dan pengukur nilai barang, menggantikan uang dinar dan dirham.
Berdasarkan hal ini, maka para ulama menyatakan bahwa uang kertas yang diberlakukan oleh suatu negara memiliki peranan dan hukum, seperti halnya yang dimiliki uang dinar dan dirham. Dengan demikian, berlakulah padanya hukum-hukum riba dan zakat.[8]
Bila demikian halnya, maka bila seseorang memiliki uang kertas yang mencapai harga nishab emas atau perak, ia wajib mengeluarkan zakatnya, yaitu 2,5% dari total uang yang ia miliki. Dan untuk lebih jelasnya, maka saya akan mencoba mejelaskan hal ini dengan contoh berikut.
Misalnya satu gram emas 24 karat di pasaran dijual seharga Rp.200.000,- sedangkan 1 gram perak murni dijual seharga Rp. 25.000,- Dengan demikian, nishab zakat emas adalah 91 3/7 x Rp. 200.000 = Rp. 18.285.715,- sedangkan nishab perak adalah 595 x Rp 25.000 = Rp. 14.875.000,-.
Apabila pak Ahmad (misalnya), pada tanggal 1 Jumadits-Tsani 1428 H memiliki uang sebesar Rp. 50.000.000,- lalu uang tersebut ia tabung dan selama satu tahun (sekarang tahun 1429H) uang tersebut tidak pernah berkurang dari batas minimal nishab di atas, maka pada saat ini pak Ahmad telah berkewajiban membayar zakat malnya. Total zakat mal yang harus ia bayarkan ialah:
Rp. 50.000.000 x 2,5 % = Rp 1.250.000,- 
(atau Rp. 50.000.000 dibagi 40)
Pada kasus pak Ahmad di atas, batasan nishab emas ataupun perak, sama sekali tidak diperhatikan, karena uang beliau jelas-jelas melebihi nishab keduanya. Akan tetapi, bila uang pak Ahmad berjumlah Rp. 16.000.000,- maka pada saat inilah kita mempertimbangkan batas nishab emas dan perak. Pada kasus kedua ini, uang pak Ahmad telah mencapai nishab perak, yaitu Rp. 14.875.000,- akan tetapi belum mancapai nishab emas yaitu Rp 18.285.715.
Pada kasus semacam ini, para ulama menyatakan bahwa pak Ahmad wajib menggunakan nishab perak, dan tidak boleh menggunakan nishab emas. Dengan demikian, pak Ahmad berkewajiban membayar zakat mal sebesar :
Rp. 16.000.000 x 2,5 % = Rp. 400.000,- 
(atau Rp. 16.000.000,- dibagi 40)
Komisi Tetap Untuk Fatwa Kerajaan Saudi Arabia dibawah kepemimpinan Syaikh ‘Abdul-’Aziz bin Bâz rahimahullâh pada keputusannya no. 1881 menyatakan:
“Bila uang kertas yang dimiliki seseorang telah mencapai batas nishab salah satu dari keduanya (emas atau perak), dan belum mencapai batas nishab yang lainnya, maka penghitungan zakatnya wajib didasarkan kepada nishab yang telah dicapai tersebut”.[9]

Catatan Penting Kedua.
Dari pemaparan singkat tentang nishab zakat uang di atas, maka dapat disimpulkan bahwa nishab dan berbagai ketentuan tentang zakat uang adalah mengikuti nishab dan ketentuan salah satu dari emas atau perak. Oleh karena itu, para ulama menyatakan bahwa nishab emas atau nishab perak dapat disempurnakan dengan uang atau sebaliknya.[10]
Berdasarkan pemaparan di atas, bila seseorang memiliki emas seberat 50 gram seharga Rp. 10.000.000, (dengan asumsi harga 1 gram emas adalah Rp. 200.000,-) dan ia juga memiliki uang tunai sebesar Rp. 13.000.000, maka ia berkewajiban membayar zakat 2,5 %. Dalam hal ini walaupun masing-masing dari emas dan uang tunai yang ia miliki belum mencapai nishab, akan tetapi ketika keduanya digabungkan, jumlahnya (Rp. 23.000.000,-) mencapai nishab.
Dengan demikian orang tersebut berkewajiban membayar zakat sebesar Rp. 575.000,- berdasarkan perhitungan sebagai berikut:
(Rp 10.000.000,- + Rp. 13.000.000,-) x 2,5 % = Rp. 575.000,- 
(atau Rp. 23.000.000,- dibagi 40)

ZAKAT PROFESI
Pada zaman sekarang ini, sebagian orang mengadakan zakat baru yang disebut dengan zakat profesi, yaitu bila seorang pegawai negeri atau perusahaan yang memiliki gaji besar, maka ia diwajibkan untuk mengeluarkan 2,5 % dari gaji atau penghasilannya. Orang-orang yang menyerukan zakat jenis ini beralasan, bila seorang petani yang dengan susah payah bercocok tanam harus mengeluarkan zakat, maka seorang pegawai yang kerjanya lebih ringan dan hasilnya lebih besar dari hasil panen petani, tentunya lebih layak untuk dikenai kewajiban zakat. Berdasarkan qiyas ini, para penyeru zakat profesi mewajibkan seorang pegawai untuk mengeluarkan 2,5 % dari gajinya dengan sebutan zakat profesi.
 [4]
[5]
[6]
[7]
[8]
[9]
[10]
[11]
[12]



  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS

SYARAT-SYARAT WAJIB ZAKAT MAL

SYARAT-SYARAT WAJIB ZAKAT MAL

Oleh
Ustadz Kholid Syamhudi Lc,


Masa melaksanakan zakat fithri sudah lewat seiring dengan berlalunya bulan Ramadhan. Semoga Allâh Azza wa Jalla menerima amal ibadah yang kita lakukan pada bulan tersebut. Namun selain zakat Fithri, masih ada zakat lain yang harus dikerjakan oleh kaum Muslimin yang sudah memenuhi syarat yaitu zakat mal (zakat harta). Zakat ini berbeda dengan zakat fithri dari sisi waktu pelaksanaannya, karena zakat ini tidak terikat dengan waktu tertentu, artinya bisa dikerjakan di semua bulan asalkan syaratnya sudah terpenuhi. Lalu, apakah syarat-syarat yang harus terpenuhi itu? Para Ulama menetapkan lima syarat, yaitu :

1. Islam.
Zakat mal ini hanya diambil dari kaum Muslimin dan tidak diambil dan tidak diterima dari kaum kafir[1] , baik kafir harbi maupun kafir dzimmi; karena firman Allâh Azza wa Jalla :

وَمَا مَنَعَهُمْ أَنْ تُقْبَلَ مِنْهُمْ نَفَقَاتُهُمْ إِلَّا أَنَّهُمْ كَفَرُوا بِاللَّهِ وَبِرَسُولِهِ وَلَا يَأْتُونَ الصَّلَاةَ إِلَّا وَهُمْ كُسَالَىٰ وَلَا يُنْفِقُونَ إِلَّا وَهُمْ كَارِهُونَ 

Dan tidak ada yang menghalangi mereka untuk diterima dari mereka nafkah-nafkahnya melainkan karena mereka kafir kepada Allâh dan Rasul-Nya dan mereka tidak mengerjakan sembahyang, melainkan dengan malas dan tidak (pula) menafkahkan (harta) mereka, melainkan dengan rasa enggan. [at-Taubah/9:54].

Ini juga didukung oleh pesan Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam ketika mengutus Mu’adz bin Jabal Radhiyallahu anhu ke Yaman untuk mendakwahi mereka agar memeluk Islam terlebih dahulu. Jika sudah memeluk Islam, baru setelah itu, mereka diperintahkan untuk menunaikan zakat. Dengan demikian jelas bahwa Islam merupakan syarat wajib zakat. [lihat Hâsyiah Ibnu Qâsim atas Raudh al-Murbi’, 3/166].

2. Merdeka.
Zakat mal ini tidak dibebankan kepada hamba sahaya; karena ia tidak memiliki harta. Semua hartanya adalah harta majikan atau tuannya. Berdasarkan hadits Abdullah bin Umar bin al-Khathab Radhiyallahu anhuma, beliau berkata :

سَمِعْتُ رَسُوْلَ اللهِ n يَقُوْلُ : مَنِ ابْتَاعَ نَخْلاً بَعْدَ أَنْ تُؤَبَّرَ فَثَمَرَتُهَا لِلْبَائِعِ إِلاَّ أَنْ يَشْتَرِطَ الْمُبْتَاعُ, وَمَنِ ابْتَاعَ عَبْداً وَلَهُ مَالٌ فَمَالُهُ لِلَّذِيْ بَاعَهُ إِلاَّ أَنْ يَشْتَرِطَ الْمُبْتَاعُ

Aku telah mendengar Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, 'Barangsiapa yang membeli pohon kurma setelah dikawinkan maka buahnya milik penjual kecuali bila pembeli mensyaratkannya. Barangsiapa yang membeli budak yang memiliki harta maka hartanya milik penjual kecuali pembeli mensyaratkannya. [Muttafaqun ‘Alaihi].

Ini juga dikuatkan dengan pernyataan sahabat Ibnu Umar Radhiyallahu anhuma :

لَيْسَ فِيْ مَالِ العَبْدِ زَكَاةٌ حَتَّى يُعْتَقَ

Tidak ada kewajiban zakat pada harta seorang budak sampai dia dimerdekakan.[2] 

3. Memiliki Nishâb 
Seorang Muslim yang merdeka wajib menunaikan zakat mal, apabila memiliki harta yang mencapai nishâb. Nishâb adalah ukuran standar (minimal) yang ditetapkan syariat untuk dikenai kewajiban zakat. Nishâb ini berbeda-beda sesuai dengan jenis harta. 

Syarat ini disimpulkan dari hadits-hadits Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam , diantaranya adalah hadits Abu Sa’id al-Khudri Radhiyallahu anhu dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bahwa beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :

لَيْسَ فِيمَا دُونَ خَمْسَةِ أَوْسُقٍ صَدَقَةٌ وَلاَ فِيمَا دُونَ خَمْسِ ذَوْدٍ صَدَقَةٌ ، وَلاَ فِيمَا دُونَ خَمْسِ أَوَاقِيَّ صَدَقَةٌ

Tidak ada zakat (pada harta) yang tidak mencapai lima wasaq; Juga pada harta yang tidak mencapai lima ekor onta; Serta yang tidak mencapai lima auqiyah [Muttafaqun ‘alaihi]

Apabila seorang Muslim tidak memiliki harta yang mencapai nishâb maka tidak diwajibkan berzakat.

4. Harta itu menjadi miliknya secara penuh 
Maksudnya, harta itu dimiliki secara penuh oleh seseorang[3] sehingga ia bebas mengelolanya dan tidak ada hubungan dengan hak orang lain.[4] 

Dengan demikian, tidak ada kewajiban zakat pada harta seorang tuan yang masih dihutang atau belum diserahkan budaknya untuk membebaskan diri, karena harta ini masih belum menjadi milik tuan sepenuhnya. 

Demikian juga tidak diwajibkan zakat pada harta wakaf yang tidak diberikan untuk individu tertentu, seperti wakaf harta untuk fakir miskin atau untuk masjid atau sekolahan. Sedangkan wakaf yang diserahkan untuk individu tertentu seperti wakaf untuk keluarga Fulan maka ia tetap kena kewajiban zakat selama memenuhi kreteria yang lainnya.[5] 

5. Berlalu setahun lamanya
Syarat ini ditetapkan berdasarkan hadits-hadits Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, diantaranya hadits ‘Aisyah Radhiyallahu anhuma yang berbunyi :

سَمِعْتُ رَسُوْلَ اللهِ n يَقُوْلُ : لاَ زَكَاةَ فِيْ مَالٍ حَتَّى يَحُوْلَ عَلَيْهِ الْحَوْلُ

Aku telah mendengar Rasûlullâh bersabda, "Tidak ada zakat pada harta sampai harta itu berlalu setahun lamanya [HR. Ibnu Mâjah rahimahullah , no. 1792 dan dishahihkan al-Albâni rahimahullah dalam shahih sunan Ibnu Mâjah 2/98].

Juga hadits Ali Radhiyallahu anhu yang berbunyi :

عَنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ لَيْسَ فِي مَالٍ زَكَاةٌ حَتَّى يَحُولَ عَلَيْهِ الْحَوْلُ

Diriwayatkan Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam , beliau bersabda, "Tidak ada zakat pada harta hingga harta itu berlalu setahun lamanya [HR Abu daud no. 1571 dan dishahihkan al-Albani dalam Shahîh Sunan Abi Daud 1/346].

Demikian juga dalam hadits Ibnu Umar Radhiyallahu anhuma, beliau Radhiyallahu anhuma berkata : 

قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مَنْ اسْتَفَادَ مَالًا فَلَا زَكَاةَ عَلَيْهِ حَتَّى يَحُولَ عَلَيْهِ الْحَوْلُ 

Rasûlullâh bersabda, "Barangsiapa memanfaatkan harta maka tidak ada zakat atasnya sampai harta itu berlalu setahun" [HR at-Tirmidzi rahimahullah dalam Sunannya no. 631 dan dishahihkan al-Albâni rahimahullah dalam Shahîh Sunan at-Tirmidzi 1/348].

Maksudnya adalah tidak ada zakat pada harta sampai kepemilikannya terhadap harta itu berlalu selama dua belas bulan. Jika sudah berlalu setahun sejak awal masa kepemilikannya, maka dia wajib mengeluarkan dari zakat yang dimiliki tersebut. 

Syarat ini hanya berlaku pada tiga jenis harta; yaitu hewan ternak yang digembalakan, emas dan perak (atsmân) dan zakat barang perdagangan.[6] 

YANG TIDAK DISYARATKAN HAUL.
Dengan demikian ada beberapa harta zakat yang tidak disyaratkan sempurna setahun, yaitu:

a. al-Mu’asyar yaitu harta yang diwajibkan padanya 10 % atau 5 %. Ini zakat pada hasil pertanian dan perkebunan; karena zakat ini diwajibkan ketika panen walaupun belum sampai setahun. Ini berdasarkan firman Allâh Azza wa Jalla :

كُلُوا مِنْ ثَمَرِهِ إِذَا أَثْمَرَ وَآتُوا حَقَّهُ يَوْمَ حَصَادِهِ 

Makanlah dari buahnya (yang bermacam-macam itu) bila dia berbuah, dan tunaikanlah haknya di hari memetik hasilnya (dengan disedekahkan kepada fakir miskin); [al-‘An’âm/6:141].

b. Anak hewan ternak[7] karena haul (ukuran setahun) bagi anak-anak hewan ternak itu mengikuti hitungan haul induknya. Anak hewan ternak ini dihitung dalam zakat walaupun belum mencapai usia setahun apabila induknya telah mencapai nishab.

Contohnya seorang memiliki empat puluh ekor kambing. Lalu dalam setahun, masing-masing kambing tersebut melahirkan dua ekor kecuali seekor saja yang melahirkan tiga ekor. Dengan demikian, jumlah keseluruhannya adalah 121 ekor yang terdiri dari 40 ekor induk ditambah 81 ekor anak kambing. Berarti zakat yang harus dikeluarkan adalah dua ekor kambing, walaupun 81 kambing tersebut belum genap satu tahun. 

Contoh lain : seorang memiliki 120 ekor kambing, seharusnya zakat yang wajib dikeluarkan adalah 2 ekor kambing, namun sebulan sebelum sempurna haulnya, lahir 100 ekor kambing sehingga di akhir tahun (waktu sempurnanya haul) berjumlah 220 ekor. Dalam hal ini ia wajib mengeluarkan 3 ekor kambing walaupun yang 100 ekor belum mencapai usia setahun. 

Apabila induk-induknya belum mencapai nishab, lalu induk-induk itu melahirkan anak-anaknya sehingga mencapai nishab. Saat mencapai nishâb itulah permulaan haulnya. Contohnya, seorang memiliki tiga puluh ekor kambing lalu kambing-kambing itu melahirkan sepuluh ekor, maka haul kambing-kambing tersebut dihitung sejak genap empat puluh ekor kambing. 

c. Keuntungan perniagaan dari modal yang telah mencapai nishâb dan berlalu satu tahun. Seandainya, seorang memiliki uang mencapai nishâb dan digunakan untuk berdagang lalu mendapatkan keuntungan. Maka seluruh harta itu, modal dan keuntungannya terkena wajib zakat, meskipun keuntungannya belum mencapai setahun. 

Contohnya, seorang memulai bisnis dengan modal 30 juta dibulan Muharram 1431 H , sementara nishâb untuk harta perniagaan adalah 85 gram emas dan harga emas 1 gramnya adalah Rp 350.000; sehingga 85 X 350.000 = 29.750.000. Kemudian di bulan Muharam tersebut, ia mendapat keuntungan Rp. 3.000.000; di bulan Shafar Rp. 2.000.000; dan seterusnya, sehingga di bulan Muharram 1432 H jumlah modal plus keuntungannya adalah Rp. 75.000.000; Maka zakat yang wajib dikeluarkan adalah 2,5 % dari Rp. 75.000.000; yaitu Rp. 1.875.000.

Apabila modalnya belum mencapai nishâb kemudian mendapatkan keuntungan sampai mencapai nishab, maka hitungan haulnya mulai dihitung sejak nishâb sempurna. 

d. Rikâz atau harta karun adalah harta terpendam yang merupakan peninggalan jahiliyah atau zaman dahulu kala. Harta ini dikeluarkan zakatnya ketika barang itu ditemukan. Ini berdasarkan sabda Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam :

فِي الرِّكَازِ الْخُمُسَ

Pada harta karun ada zakat seperlima (20 %). [Muttafaqun ‘Alaihi]. 

Juga karena keberadaannya menyerupai buah-buahan dan biji-bijian yang keluar dari tanah. Sehingga diwajibkan ketika mendapatkannya

e. Tambang (al-mi’dan) yaitu semua yang dikeluarkan dari bumi berupa barang-barang selain tanah yang dibuat di dalam tanah dan bernilai, seperti besi, batu permata (al-yaqût), batu aqiq, aspal, minyak bumi dan lain-lainnya yang dinamakan barang tambang. Apabila seorang mendapatkan barang tambang itu dan mencapai nishab, maka wajib ditunaikan zakatnya secara langsung ketika mendapatkannya. Tidak dikeluarkan zakatnya sampai diolah dan dibersihkan. Zakatnya adalah 2,5 %.[9] 

Imam al-Khiraqi menyatakan, "Apabila dikeluarkan dari bahan tambang berupa emas duapuluh mitsqâl atau perak sejumlah duaratus dirham atau senilai tersebut dari seng (zenk), timbal, kuningan atau selainnya dari yang digali (ekploitasi) dari dalam bumi, maka diwajibkan zakat diwaktunya.[10] 

TERPUTUSNYA HAUL
Haul terputus atau dianggap gagal dengan sebab-sebab berikut:
1. Apabila nishâb berkurang ditengah-tengah tahun sebelum sempurna haul, maka terputuslah haul. Contohnya, seorang memiliki 40 ekor kambing dan sebelum sempurna setahun berkurang seekor, maka ia tidak wajib menzakati sisanya. Karena adanya nishâb dalam setahun adalah syarat wajib zakat.

2. Apabila menjual sebagian dari nishabnya dengan syarat: 
a. Pembayarnya tidak sejenis 
b. Bukan karena takut terkena zakat
c. Harta tersebut bukan termasuk barang yang diperdagangkan.

Jika syarat-syarat ini terpenuhi, maka dia tidak diwajibkan zakat. Cotohnya, seorang memiliki 40 ekor kambing lalu sebelum sempurna setahun ia jual dua ekor kambing dengan uang seharga 2 juta Rupiah bukan karena takut mengeluarkan zakat. Juga kambing tersebut bukan disiapkan untuk diperdagangkan. Maka terputuslah haulnya.

3. Apabila harta yang sudah masuk nishâb diganti dengan jenis lain ditengah-tengah haul bukan untuk menghindari kewajiban zakat maka terputuslah haul. Contohnya, seorang memiliki 40 ekor kambing lalu sebelum setahun masa nishâb tersebut ia ganti dengan onta atau sapi. Maka haul zakatnya terputus dan mulai baru lagi dengan haul onta atau sapi itu dimulai pada hari pergantian bila onta dan sapi itu mencapai nishâb.

Namun bila ia menjual sebagian nishabnya dengan yang sejenis maka haulnya tidak terputus. Contohnya, seorang memiliki emas berupa kalung sebesar nishâb (85 gram) berjumlah 5 buah lalu dijual dua buah dan ditukar dengan gelang emas dan berat keseluruhannya masih 85 gram maka haul gelang emas tersebut ikut haul kalung emas. Sehingga bila ia memiliki emas senishab tersebut pada 1 Ramadhan 1431 H, lalu ia tukar dengan gelang tersebut pada tanggal 6 Rajab 1432 H. Maka tetap membayar zakatnya secara keseluruhan pada tanggal 1 Ramadhan 1432 H.

Memang dalam permasalahan pertukaran harta zakat yang sudah mencapai nishâb dengan harta zakat lainnya yang juga senishab baik pertukaran biasa atau jual beli ada perbedaan pendapat para Ulama. Perbedaan pendapat ini dapat dijelaskan berikut ini: 

a. Apabila dijual atau ditukar dengan harta lain sejenis yang juga sudah mencapai nishâb atau lebih, maka haulnya dihitung berdasarkan nishâb yang pertama, sehingga tetap wajib dizakati apabila sempurna setahun (haul). Inilah pendapat imam Mâlik dan Ahmad. Pendapat ini sejalan dengan pendapat imam Abu Hînifah pada barang berharga (al-atsmaan). Sedangkan dalam komoditi perniagaan maka haulnya tidak terputus sama sekali dengan pertukaran dan jual beli. 

b. Apabila harta zakat yang sudah mencapai nishâb ditukar atau dijual dengan harta zakat jenis lain yang juga sudah mencapai nishâb atau lebih, maka terputuslah perhitungan haul dari harta zakat pertama dan dimulai hitungan haul baru untuk harta zakat kedua; Kecuali pada emas dengan perak atau sebaliknya, ada dua riwayat dari madzhab Ahmad bin Hambal. Pendapat pertama menyatakan tidak terputus haulnya dan inilah yang dirâjihkan oleh penulis kitab Zâdul Mustaqni’, karena emas ddan perak adalah harta yang sama sehingga seperti satu harta. Pendapat kedua menyatakan haulnya terputus dan tidak disamakan antara emas dan perak, karena keduanya jenis yang berbeda sebagaimana disampaikan Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam sabda beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam : 

الذَّهَبُ بِالذَّهَبِ وَالْفِضَّةُ بِالْفِضَّةِ وَالْبُرُّ بِالْبُرِّ وَالشَّعِيرُ بِالشَّعِيرِ وَالتَّمْرُ بِالتَّمْرِ وَالْمِلْحُ بِالْمِلْحِ مِثْلًا بِمِثْلٍ سَوَاءً بِسَوَاءٍ يَدًا بِيَدٍ فَإِذَا اخْتَلَفَتْ هَذِهِ الْأَصْنَافُ فَبِيعُوا كَيْفَ شِئْتُمْ إِذَا كَانَ يَدًا بِيَدٍ

Emas ditukar dengan emas, perak dengan perak, jewawut dengan jewawut, gandum dengan gandum dan kurma dengan kurma serta garam dengan garam harus setara dan kontan. Apabila jenis-jenisnya berbeda maka juallah sesuka kalian dengan syarat kontan. [HR. Muslim, no. 1587].

Pendapat keduan ini dirâjihkan Syaikh Ibnu Utsaimin dalam Syarhul Mumti’ 6/44.

c. Sedangkan imam asy-Syâfi’i rahimahullah berpendapat, haul satu harta yang telah mencapai nishâb tidak digabung dengan haul harta yang lain sama sekali. Beliau mendasarkan pendapatnya dengan sabda Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam:

لاَ زَكَاةَ فِيْ مَالٍ حَتَّى يَحُوْلَ عَلَيْهِ الْحَوْلُ

Tidak ada zakat dalam harta hingga berlalu setahun lamanya [HR. Ibnu Mâjah no. 1792 dan dishahihkan al-Albâni dalam Shahîh Sunan Ibnu Mâjah 2/98]. 

Pendapat ini berbeda dengan Ibnu Qudâmah rahimahullah. Beliau rahimahullah mengatakan, "Pendapat kami adalah harta yang telah mencapai nishâb digabungkan dengan haul harta pertumbuhannya dalam hitungan Haul, sehingga haul penggantinya yang sejenis dibangun diatas haul tersebut, sama seperti komoditi perniagaan. Hadits ditas dikhususkan dengan pertumbuhan, hasil keuntungan dan barang komoditi perniagaan. Sehingga kita qiaskan (analogikan) permasalahan ini kepadanya.[12] 

d. Ada satu riwayat dari imam Ahmad yang menyatakan apabila harta zakat yang telah mencapai nishab dijual atau ditukar dengan harta baru yang telah mencapai nishab, maka haul harta yang kedua melanjutkan perhitungan haul harta pertama secara mutlak, baik sejenis atau berlainan jenis. Pendapat ini dirâjihkan oleh syaikh Abdurrahman bin Nashir as-Sa’di rahimahullah. Beliau rahimahullah berkata, "Yang benar adalah pendapat madzhab Imam Ahmad yang menyatakan bahwa pertukaran nishâb harta zakat dengan nishâb harta zakat lainnya tidak menghalangi kewajiban zakat dan tidak pula memotongnya, baik keduanya sejenis atau berlainan jenis. Pembedaan antara barang yang sejenis dan tidak sejenis tidak ada dalilnya. Hakekatnya adalah tidak ada perbedaan antara keduanya. Juga karena pendapat yang menyatakan memutus perhitungan haul apabila ditukar dengan harta zakat jenis lainnya mengakibatkan terbukanya pintu rekayasa untuk menghindari zakat.[13] 

Adapun hitungan haul barang komoditi perniagaan maka tidak terputus haulnya dengan sebab pertukaran dan jual beli.[14] 

Apabila ada keuntungan dalam perniagaan tersebut maka hitungan haul keuntungan dihitung dengan dasar hitungan haul modalnya. Demikian juga apabila terjadi kenaikan harga barang tersebut, maka zakatnya diwajibkan pada semua nilainya dan bila ada penurunan harga maka dizakati nilai barang yang ada sesuai harga yang ada tersebut.[15] 

Demikian beberapa masalah seputar perhitungan Haul dalam zakat semoga bermanfaat dan bisa menjadi pencerahan kepada para wajib zakat dan amilnya.
Wabillahittaufiq.

[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 06/Tahun XV/1432H/2011. Diterbitkan Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Jl. Solo – Purwodadi Km.8 Selokaton Gondangrejo Solo 57183 Telp. 0271-858197 Fax 0271-858196]
_______
Footnote
[1]. Lihat Shahih Fikih Sunnah 2/11-12
[2]. HR al-baihaqi 4/108 dengan sanad yang shahih lihat al-Irwa’ al-Ghalil 3/252.
[3]. Asy-Syarhul Mumti’, 6/21 dan al-Mulakhashul Fiqhi 1/223)
[4]. (Lihat Hasyiyah ibnu Qaasim atas ar-raudh al-Murbi’ 2/168).
[5]. Lihat tambahan contoh pada asy-Syarhul Mumti’ 5/21
[6]. Lihat al-Mughni 4/73
[7]. Lihat al-Mulakhash al-Fiqhi 2/224
[8]. Lihat al-Mulakhash al-Fiqh 2/224
[9]. Lihat al-Mughni 4/238-244.
[10]. Mukhtashar al-Khirâqi yang dicetak bersama al-Mughni 4/238
[11]. Sebagaimana dirâjihkan Syaikh Ibnu Utsaimin dalam asy-Syarhul Mumti’ 6/43
[12]. Al-Mughni 4/135.
[13]. Al-Mukhtârât al-Jaliyah minal Masâ’il al-Fiqhiyah, hlm. 76-77
[14]. Lihat Majmû’ Fatâwa Wa Rasâ’il Ibnu Utsaimin 18/51. 
[15]. Lihat Majmû’ al-Fatâwâ Syaikh bin Bâz -12/50 dan asy-Syarhul Mumti’ 6/33-39

  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS

Hikmah Puasa Ramadhan

Manfaat puasa ramadhan bagi umat Islam tentunya banyak. Baik itu manfaat puasa bagi kesehatan fisik maupun kesehatan jiwa kita. Karena tentunya ketika syariat Islam ada, banyak hikmah di balik itu semuanya. Termasuk juga mengenai hikmah keutamaan puasa Ramadhan bagi kita umat Islam yang wajib untuk dilaksanakan bila tidak ada halangan rintangan ketika menjalaninya. Karena memang hukum puasa Ramadhan adalah wajib. Apalagi kita sudah kian mendekatiRamadhan 1434 H yang tinggal menunggu hitungan hari lagi.

Ramadhan adalah merupakan bulan yang banyak mengandung hikmah serta keutamaannya. Sesungguhnya sudah seharusnya orang Islam dan beriman akan gembira ketika menyambut datangnya bulan suci Ramadhan ini. Bukan saja telah diarahkan menunaikan ibadah selama sebulan penuh dengan balasan pahala yang berlipat ganda, di dalam bulan Ramadhan Allah Ta'ala juga telah menurunkan kitab suci al-Quranul-karim, yang menjadi petunjuk bagi seluruh manusia di alam semesta ini dan juga untuk membedakan antara yang benar dengan yang salah.

Dan bulan suci ramadhan ini juga merupakan salah satu moment waktu yang tepat untuk mengenalkan puasa ini bagi anak-anak kita juga. Dan juga waktu yang tepat untuk 
melatih anak berpuasa juga. Karena memang penting sekali bagi para orang tua untuk mengenalkan akan pentinganya berpuasa ramadhan ini bagi anak-anak dan juga begi keseluruhan Umat Muslim di penjuru dunia.

Kewajiban menjalankan ibadah puasa Ramadhan ini telah Allah Ta'ala perintahkan dalam Al-Qur'an surat Al-Baqarah ayat 183 yang artinya :"Wahai orang-orang yang beriman ! Diwajibkan kepada kamu puasa sebagaimana telah diwajibkan atas orang-orang yang sebelum kamu, supaya kamu menjadi orang-orang yang bertaqwa." Jadi tujuan puasa Ramadhan adalah agar kita menjadi orang-orang yang bertakwa dengan sesungguhnya. Yaitu menjalankan apa yang diperintahNya serta menjauhi segala apa yang dilarangNya.
Manfaat Hikmah Puasa Ramadhan

Kita mengulang kembali dengan pengertian puasa yang pernah diulas dalam 
manfaat puasa bagi kesehatan yaitu yang dimaksud dengan berpuasa menurut syariat Islam ialah menahan diri dari segala sesuatu yang membatalkan puasa (seperti halnya makan, minum, hubungan kelamin, dan sebagainya) semenjak mulai terbitnya fajar sampai dengan terbenamnya matahari, disertai dengan niat iklhas ibadah kepada Allah, karena mengharapkan ridho-Nya serta menyiapkan diri dalam rangka meningkatkan ketakwaan.

Berikut beberapa manfaat puasa Ramadhan yaitu :
  1. Dengan berpuasa Ramadhan selama 1 bulan penuh maka hal ini secara tidak langsung manfaat bagi kesehatan adalah mengistirahatkan organ pencernaan kita serta juga perut dari kelelahan bekerja yang terus menerus dalam 11 bulan, dan juga membantu mengeluarkan sisa makanan dari dalam tubuh, memperkuat badan.
  2. Membersihkan tubuh dari racun serta kotoran (detoksifikasi). Puasa merupakan terapi detoksifikasi yang paling tua. Dengan berpuasa pada bulan suci Ramadhan, maka ini berarti kita juga akan membatasi kalori yang masuk dalam tubuh kita yang mana hal ini akan bermanfaat dalam proses metabolisme yang menghasilkan enzim antioksidan yang berfungsi salah satunya untuk membersihkan zat-zat yang bersifat racun dari dalam tubuh.
  3. Bagi kesehatan psikologis kita faedah puasa akan kita dapatkan yaitu kondisi mental emosi kita akan lebih terjaga dan terkontrol dengan lebih baik lagi. Keadaan ini akan membantu dalam penurunan tingkat adrenalin dalam tubuh. Yang mana adrenalin juga menambah pembentukan kolesterol dari lemak protein berkepadatan rendah. Berbagai hal tersebut ternyata dapat meningkatkan resiko penyakit pembuluh darah, jantung dan otak seperti jantung koroner, stroke dan lainnya.
  4. Puasa bagi kesehatan akan memberikan manfaatnya antara lain adalah bisa membantu dalam proses menurunkan kadar gula darah, kolesterol dan juga mengendalikan tekanan darah. Itulah mengapa dalam satu sisi, puasa sangat dianjurkan bagi perawatan mereka yang menderita penyakit diabetes, kolesterol tinggi, kegemukan dan darah tinggi. Tentunya hal ini juga harus dikonsultasikan terlebih dahulu dengan tim medis yang berkompeten bila anda adalah mempunyai suatu jenis penyakit tertentu.
Selain manfaat puasa ramadhan bagi kesehatan yang akan kita peroleh bila kita benar-benar menjalankan rukun dan syarat puasa yang benar, maka kita juga akan banyak mendapatkan hikmah bulan Ramadhan itu sendiri.

Dan berikut adalah beberapa hikmah bulan Ramadhan yaitu :
  1. Salah satu dari hikmah keutamaan puasa ramadhan ini bagi Umat Islam adalah akan diampuni dosa-dosanya yang telah lalu. Hal ini berdasarkan sebuah dalil hadist yang berbunyi :"Barangsiapa yang berpuasa Ramadhan dengan penuh iman dan mencari ridha Allah, maka ia akan diampuni dosa-dosanya yang telah lalu."(Hadits Mutafaqun ‘Alaih).
  2. Meningkatkan rasa syukur kita terhadap banyaknya nikmat yang telah Allah Ta'ala anugerahkan kepada kita semuanya. Hal ini bisa kita lakukan dengan melakukan berbagai amalan kebaikan dalam bulan ramadhan seperti contohnya bersedekah kepada orang-orang fakir pada bulan Ramadhan mulia ini, Banyak memberi dan jadilah seseorang yang memberikan pemberian orang yang tidak takut miskin. Berderma dengan harta dan kebaikan kepada saudara-saudaramu yang membutuhkan, dan menjadi orang yang mensyukuri nikmat Allah.
  3. Ikut merasakan apa yang dirasakan oleh orang yang kurang berkecukupan. Dalam puasa kita tentu merasa lapar dan dahaga, mengingatkan kita betapa menyedihkannya nasib orang yang tidak berpunya. Mungkin kita hanya beberapa jam saja, lalu kita bisa berbuka puasa, sedangkan mereka yang miskin tak berpunya bisa saja puasa sepanjang siang dan malam. Tentu ini membuat kita menjadi lebih bersyukur kepada Allah atas semua nikmat yang diberikanNya.
  4. Melatih diri kita pribadi khususnya untuk menyeimbangkan urusan dunia dan akhirat. Jika pada 11 bulan yang lalu kita sering melalaikan Allah untuk hal-hal yang bersifat duniawi, ini saatnya kita menata diri dalam beribadah kepadaNya, supaya tercapai keseimbangan kehidupan dunia dan akhirat. Ibadah dan pekerjaan dunia haruslah seimbang, sehingga kita menjadi manusia yang seutuhnya yang banyak memberikan kebaikan kepada banyak manusia.
  5. Puasa akan membiasakan umat Islam untuk hidup disiplin, bersatu, cinta keadilan dan persamaan, juga melahirkan perasaan kasih sayang dalam diri orang-orang beriman dan mendorong mereka berbuat kebajikan.

Marhaban Ya Ramadhan. Bulan Ramadhan adalah bulan yang penuh dengan barakah. Pada bulan suci ini pintu surga dibuka selebar-lebarnya dan pintu neraka ditutup serapat-rapatnya. Pada bulan kemuliaan Ramadhan ini setan-setan dibelenggu.

Dalam bulan ini ada satu malam yang keutamaan beramal di dalamnya lebih baik daripada beramal seribu bulan di bulan lain yaitu malam Lailatul Qadr. Pada bulan ini setiap hari ada malaikat yang menyeru menasehati siapa yang berbuat baik agar bergembira dan yang berbuat maksiat dan dosa agar menahan diri. 

  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS